Horor no hantu-hantu yang ga kalah seram dengan Pengabdi Setan
Kamusfilm – Film ber-genre thriller sebenarnya bukan hal baru di dunia perfilman Indonesia, namun Perempuan Tanah Jahanam terasa begitu spesial dan berbeda. Kenapa? Inilah review film Perempuan Tanah Jahanam.
Perempuan Tanah Jahanam (PTJ) merupakan film karya Joko Anwar, film ini rilis 17 Oktober 2019. PTJ dibintangi Tara Basro, Marissa Anita, Christine Hakim, Asmara Abigail, Ario Bayu, dan masih banyak lagi. Film ini berawal dari skenario milik Joko yang kabarnya sudah ditulis sejak 2009. Proyek film ini mengalami tarik ulur karena berbagai alasan, hingga benar-benar diproduksi tahun 2018.
Ceritanya dekat dengan rakyat Indonesia dan dieksekusi dengan sangat realistis.
-- Mulai dari sini, artikel ini akan penuh spoiler.

Hal pertama yang membuat PTJ sangat mengesankan adalah perpaduan antara sihir, mistis dan masyarakat kelas bawah. Tak bisa dipungkiri, perpaduan tersebut sangat dekat dengan masyarakat Indonesia. Kurangnya pengetahuan atau pendidikan membuat sekelompok komunitas percaya akan satu hal yang salah, ironisnya hal itu terjadi puluhan tahun.
PTJ menceritakan tentang Maya (Tara Basro), seorang penjaga pintu tol yang nyaris terbunuh oleh seorang pria tak dikenal yang diperankan oleh Teuku Rifnu. Pria itu mengenal maya sebagai Rahayu, perempuan asal desa Harjosari, putri Ki Donowongso. Mulai dari peristiwa itu, Maya bersama sahabatnya Dini (Marissa Anita) berusaha menyelidiki mengenai Desa Harjosari dan membuka kenyataan kelam mengenai asal usul orang tuanya.
Dari awal film, Joko sudah sukses membangun ketegangan. Suasana kelam melekat sejak awal film namun tak memunculkan rasa aneh bagi penonton. Suasana Desa Harjosari membuat rasa penasaran memuncak. Muncul berbagai pertanyaan, “Setan apa yang akan muncul?” “Gangguan apa yang akan muncul?” “Siapa yang akan membantu Maya dan Dini? “
Fokus di kepala yang menanti setan muncul mulai buyar saat Dini dibunuh. Ternyata setan di film ini ya manusia-manusianya, warga Desa Harjosari yang percaya bahwa kutukan di desa mereka berawal dari Ki Donowongso dan hanya bisa diakhiri dengan nyawa Maya.
Akting para aktor dan aktris di PTJ semua maksimal. Tara Basro sukses memainkan emosi penonton melalui perannya yang hopeless. Mimik wajah Teuku Rifnu sukses membuka film dengan ketegangan. Marissa Anita pun sukses memberi komedi di tengah-tengah kengerian. Abdurrahman Arief yang memerankan kusir andong pun dieksekusi maksimal. Satu yang paling mengena tak lain tak bukan Christine Hakim yang memerankan Nyi Misni, sosok nenek jahat, tidak banyak bicara, keji, plus agak pincang. Mungkin yang b ajah itu Ki Donowongso, wajahnya terlalu baby face untuk seorang penganut ilmu hitam.
Bagi saya, pincang itu menambah kengerian sampai 80%.
Adegan penampakan di PTJ hanya terjadi tiga atau empat kali. Kesemuanya bukan jumpscare dan hanya pendukung untuk bangunan cerita. Selebihnya adalah keberingasan manusia yang dangkal ilmunya.
Harjosari dan warganya adalah gambaran di mana ilmu pengetahuan itu dikesampingkan.
Meski digambarkan ada unsur ilmu hitam dan perjanjian dengan iblis, PTJ membuat saya membayangkan hal lain. Saya cenderung melihat Harjosari sebagai desa terbelakang yang sering menolak ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman.

Hal itu digambarkan dengan lokasi desa yang sangat terpencil dan tidak ada akses jalan beraspal. Hal itu ditambah dengan pola pikir warga yang terlalu percaya dengan omongan kepala desa meski tanpa dasar apapun. Pertimbangan medis tak dilihat, rumah-rumah kayu reyot menjadi pemandangan utama. Bahkan di desa itupun tak ada bentuk pembangunan untuk membantu kemudahan warga beraktivitas.
Nah, hal-hal itu yang menurut saya paling seram. Satu orang tanpa ilmu pengetahuan hanya akan menjadi penghibur dalam kehidupan. Namun kalau satu komunitas bodoh semua. Kacaulah organisasi.
Kesimpulan….
Secara umum PTJ sangat bagus, di Cinepoint saya memberi rating eight out of ten. Musik-musik yang mengiringi ceritanya sukses membuat ketegangan semakin menjadi-jadi. Joko Anwar harus terus menulis dan menyutradarai film horor, karena sepertinya kreativitasnya muncul maksimal di cerita-cerita horor.
Kalau saya bandingkan dengan Pengabdi Setan (PS) dari tingkat keseraman. Saya pribadi cenderung lebih seram PS. Hal ini mungkin karena perwujudan setan di PS lebih mainstream dan film ini mengikuti formula film horor pada umumnya. Namun menonton PTJ adalah pengalaman baru dalam cerita horor Indonesia dan keseramannya lebih nyata dan dekat.